Kamis, 02 Februari 2012

Watch Dog Game di Indonesia



Anj**g...itulah kata-kata yang terlontar dari bilik sebelah ketika saya sedang browsing di warnet. Setelah saya cek ternyata murid-murid SD sedang bermain game, entah itu Coun**r Str*ke atau P*int Bl*nk saya kurang tahu. Terdengar suara ribut saling menembak dan membunuh dengan sesama teman di dunia maya. Mereka yang kalah tak jarang mengeluarkan umpatan-umpatan yang seharusnya tidak pantas diucapkan.
Bukan hanya umpatan-umpatan yang saya khawatirkan tapi juga efek dari permainan video game yang mengumbar kekerasan secara vulgar, menyerang, menembak bahkan membunuh. Untuk memenangkan permainan pemain diharuskan membunuh lawannya dengan kokangan senjata. Kedua game tersebut seharusnya tidak dimainkan oleh anak-anak karena sudah ada label DEWASA. Jika sehari anak-anak memainkan game ini minimal 2 jam perhari, apa yang akan terjadi jika game ini dimainkan terus menerus selama setahun?
George Herbert Mead (1930) dalam Mind, Self, and Society mengatakan bahawa anak-anak memiliki kecenderungan untuk menirukan peran-peran yang ia dapatkan. Hal ini dikarenakan anak-anak belum memiliki peran yang pasti, sehingga mereka menyerap nilai dan norma yang dia dapatkan seperti halnya ketika bermain video game. Menurut Mead dalam usia tersebut anak-anak masih dalam tahap menirukan apa yang dia lihat. Meskipun tidak mempunyai efek secara langsung, tapi ini bisa berpengaruh dalam perkembangan mental mereka, untuk saling menyerang.
Media televisi mempunyai KPI yang siap meniup peluit apabila menayangkan acara-acara yang mengumbar kekerasan, trus siapa yang menjadi whistle blower untuk media game?
Memang tidak semua game berpengaruh buruk, untuk itu perlu pendekatan yang bijak dalam memberikan informasi kepada adik-adik kita untuk memainkan game yang sesuai dengan usianya. Arahkan mereka untuk memainkan game-game edukasi yang menunjang perkembangan otaknya.
Sebagian besar orang tua tidak tahu game apa yang dimainkan oleh anaknya, apalagi pengaruhnya. Perlu adanya kepedulian sejak dini dari berbagai elemen masyarakat untuk memberikan informasi kepada orang tua tentang game-game apa yang sesuai dengan anak-anak.
Selama ini alasan orang tua melarang anaknya bermain game HANYA khawatir anaknya lupa waktu belajar, bukan pada content game yang dimainkan anaknya. Bahkan ada orang tua yang memberi bonus “extra time” main game jika dia sudah belajar, atau nilainya bagus.
Pengelola game center juga harus aktif, dengan cara tidak mengizinkan anak-anak bermain game yang tidak sesuai dengan usianya. Memang konsekuensi logisnya adalah berkurangnya pendapatan, tapi akan lebih menarik jika mereka juga menyediakan game-game edukasi yang tidak kalah menantang untuk dimainkan. Jadi anak-anak mempunyai alternatif permainan yang membuat mereka senang sekaligus membuat mereka lebih pintar.
Harapan terakhir kita adalah kepada pemerintah untuk membuat semacam “KPI” yang mengawasi peredaran game-game beserta regulasinya. Dengan regulasinya badan tersebut bisa menindak pihak-pihak yang melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan.
Tapi sebelum kita menuntut pemerintah lebih banyak alangkah baiknya gerakan ini dimulai dari diri kita sendiri untuk peka dan peduli dengan game-game yang dimainkan adik-adik kita dengan cara melakukan edukasi tentang game-game apa yang cocok untuk menunjang pendidikan mereka.
Saatnya Bergerak!!!

salam
benny pew
http://baliklayarindonesia.blogspot.com