Rabu, 29 September 2010

ENUMERATOR IS DIRECTOR






Akhirnya NGANTOR juga!

Kini aku harus ”NGANTOR” di sebuah puskesmas, ngobrol dengan Kepala Puskesmas, Bidan, dan tenaga medis lainnya tentang Standar Pelayanan Minimum Kesehatan. Aku baru tahu ternyata pemerintah mengeluarkan sebuah sistem standarisasi pelayanan terhadap masyarakat. Sebuah institusi dituntut untuk memenuhi standar minimum pelayanan terhadap masyarakat.
Berdasarkan informasi dari tenaga medis, bahwa setiap poliklinik mempunyai program-program SPM. Untuk memonitoring dan evaluasi, setiap bulan diadakan pertemuan antar kepala puskesmas untuk membahas kemajuan SPM. Pertemuan ini juga sebagai sarana sharing strategi antar puskesmas. Dalam lingkup intern puskesmas, setiap tiga bulan diadakan mini lokakarya untuk monitoring dan evaluasi program-program tersebut.

Untuk mendapatkan data yang berimbang aku juga ngobrol dengan beberapa pasien bagaimana tanggapan pasien dengan pelayanan puskesmas tersebut. Menurut mereka pelayanannnya sudah cukup memuaskan. Mulai dari loket pendaftaran, petugasnya cekatan sehingga tidak menunggu lama. Semua pasien dilayani dengan baik, tidak ada pembedaan pelayanan. Di puskesmas ini ruang tunggu berada ditengah, di sekelilingnya terdapat ruangan poli-poli sehingga pasien tidak kesulitan menemukan poli yang dituju. Poli nya cukup lengkap antara lain, poli umum, poli gigi, poli KIA, poli lansia, laborat. Puskesmas sekarang juga melayani konsultasi psikologi hari kami kamis sampai sabtu.

Pelayanan Puskemas mulai jam 07:00-12:00, pasien dalam kota dikenai biaya registrasi 2000 rupiah, luar kota 5000 rupiah. Apabila pasien membutuhkan pelayanan lain seperti cek darah dilaboratorium maka dikenakan biaya tambahan. Sedangkan untuk pemegang ASKESKIN, JAMKESMAS semua pelayanan gratis. Soal biaya puskesmas ini transparan, mereka menempel daftar tarif dan biaya tindakan medis.

Overall, berdasarkan informasi dari beberapa narasumber dan hasil observasi, pelayanan puskesmas ini memang cukup baik. Saran untuk puskesmas ini adalah penambahan pelayanan rawat inap

Sangat menyenangkan menjalani profesi ini, setiap saat bertemu dengan orang dan suasana yang baru. Sekitar bulan Agustus aku meneliti tentang potensi parkir. Hal pertama yang terlintas melakukan pekerjaan ini adalah tantangan menaklukkan tukang parkir, yang (dalam bayanganku) identik dengan preman. Tapi ternyata tidak semua tukang parkir preman euy. Meski tampang preman, kalau pendekatan kita baik mereka pasti menerima kita dengan baik pula. Tukang parkir yang aku wawancara pertama namanya Barnawi, badannya kekar, penuh dengan tatoan. Ngeri juga ngeliatnya, dia masih sibuk menata sepeda motor, setelah dia nggak sibuk aku beranikan diri ngajak ngobrol, ternyata orangnya nyantai banget. Sambil aku ajak ngobrol dia update status “ Lagi Wawancara”. Gileee cuy tukang parkir gaul, punya facebook.

Banyak hal baru yang dapetin selama “garap tukang parkir” ini. Lahan parkir 1 meter muat untuk 3 motor. Tempat parkir yang paling rame dalam 10 menit ada 3 motor yang keluar dengan retribusi 1000 per motor. Jadi bisa dihitung lahan parkir sepanjang 8 meter, muat untuk 24 motor. Dalam satu jam dia bisa memperoleh 3000X 6 = 18000. Jam operasional tukang parkir dari jam 09:00-12:00. Setoran perhari 5000 rupiah. Dalam satu tempat parkir bisa dibagi menjadi 3 shift.

Juru parkir adalah seseorang yang mempunyai surat tugas resmi dari pemerintah kota. Saat wawancara ternyata tidak semua tukang parkir mempunyai surat resmi, mereka kami sebut pembantu juru parkir. Pola kerjanya adalah seorang juru parkir menyuruh orang lain untuk jaga parkir. Pembantu parkir akan menerima bagi hasil dari pendapatan, setelah dipotong uang setoran ke dishub.

Beberapa hal yang menjadi keluhan tukang parkir adalah soal setoran. Ada lahan parkir di depan Toko Agung yang paling rame. Sekitar 10 meter dari toko Agung, ada lahan parkir yaitu di depan toko Batara. Juru parkir di depan toko Batara mengeluh karena lahan parkirnya yang 6 meter diisi oleh karyawan-karyawan toko. Otomatis dalam sehari tidak ada motor keluar masuk, karena karyawan toko pulangnya sore. Hal itu berbeda jauh dengan parkir di toko Agung yang dalam 10 menit bisa 3 motor. Sedangkan setoran mereka ke pemerintah kota sama. Tentu saja juru parkir di depan toko Batara mengeluh dengan kebijakan tersebut. Menurutnya setoran harus disesuaikan dengan tingkat keramaian parkir. Tidak “digebyah uyah” alias sama rata.

Masih soal setoran, Joko jukir di depan toko lampu mempunyai pengalaman pahit. Selama dua minggu sakit, tentu saja dia tidak mendapatkan penghasilan dari parkir. Setelah dia sembuh, Joko ditagih tunggakan setoran selama 2 minggu. Menurut joko hal ini nggak fair, karena dia tidak memperoleh penghasilan dari parkir. Tapi petugas tidak mau tahu, Joko harus tetap membayar tunggakan setoran. Lain lagi dengan Ombat, dia pernah adu mulut dengan seorang PNS berseragam, karena dia ngasih 1000 tapi masih minta kembalian 500 perak. Padahal di depan toko itu ada papan dari Dishub bahwa parkir motor 1000 perak. Ombat pun menunjuk papan itu, tapi dasar PNS berseragam yang “pelit” tetep aja nggak mau tau, dia kekeh minta 500 perak kesayangannya.

Salah satu juru parkir minta seluruh jukir diasuransikan, karena pekerjaan mereka berbahaya, mereka bisa saja tertabarak kendaraan lain ketika sedang memberi aba-aba mobil. Uneg-Uneg juru parkir di depan Circle K adalah semua juru parkir digaji seperti karyawan, bukan dengan sistem setoran.

Slamet juru parkir di depan apotik, menginstruksikan anak buahnya kalau ada orang yang nggak ngasih uang, atau cuma dikasih 500 diterima aja. Orang yang ke apotik itu adalah orang yang kesusahan karena sakit, entah dia sendiri maupun keluarganya. Aku baru sadar, bahwa orang yang ke apotik adalah orang yang kesusahan. Tidak semua jukir preman, tidak semua tukang parkir menyeramkan. Kehidupan di jalan memang keras, tapi menyikapinya tidak perlu dengan kekerasan.

Banyak pelajaran yang aku ambil selama”Ngantor” di jalanan. Cerita-cerita yang tidak pernah aku dengar sebelumnya, dan mendengarkan keluh kesah jukir menjadi pengalaman tersendiri.
Beberapa bulan sebelum “ngantor” dijalan, aku ditugaskan ke Samarinda. Perjalanan yang aku benci, karena aku takut bepergian dengan pesawat. Hati selalu was-was. Selama di pesawat dzikir tanpa henti hingga sampai ditujuan, diatas kupingku rasanya mau pecah, karena tekanan.
Sampai di Balikpapan kami dijemput dengan travel kemudian melanjutkan perjalanan selama kurang lebih 3 jam. Aku heran selama perjalanan jarang sekali aku melihat mobil sedan. Bagitupun masuk kota Samarinda, nyaris semua mobil sejenis Strada, Ford. Kami menyewa basecamp selama 20 hari dengan harga 5 juta. Rumahnya cukup nyaman dan luas.

Penelitian di Samarinda ini mengenai migrasi desa kota dengan nama Rural Urban Migration China Indonesia (RUMICI) hasil kerja sama UGM dan Australia Natioanal University. Penelitian ini dilaksanakan di dua Negara yaitu China dan Indonesia. Ada empat kota yang kami jadikan sample yaitu Tangerang, Medan, Makasar, dan Samarinda Fokusnya adalah kondisi pendidikan anak yang ditinggal orang tuanya ber migrasi ke kota.

Tugasku entry data, pekerjaan yang baru pertama kali aku lakukan, biasanya aku wawancara dengan responden. Minggu pertama aku belum ada kerjaan, karena questioner hasil wawancara masih diperikasa oleh supervisor dan regional coordinator. Setelah fix questionnaire aku entry, jadi data yang dientry sudah halus. Untuk penelitian kali ini alurnya memang berbeda, biasanya questionnaire hasil wawancara langsung masuk ke editor. Selain bertugas memasukkan data, editor wajib mengkoreksi kues dahulu sebelum di entry.

Sebagai editor, siang hari praktis tidak ada kerjaan, karena kues disetor pada malam hari. Jam kerjaku aku alihkan menjadi malam hari, aku lembur sampai jam 6 pagi. Setelah itu tidur dan bangun sekitar pukul setengah 9. Selama empat hari alur kerjaku seperti itu. Pada hari ke enam kesehatanku mulai terganggu, badanku mulai panas dingin. Awalnya aku anggap masuk angina seperti biasa, karena semua sudah aku support dengan vitamin dan susu. Hari ke tujuh, aku cek darah dan positif dinyatakan typus. Aku harus bedrest tidak boleh kerja dan kecapaian. Makan diatur, tidak boleh makan gorangan dan tentu saja sambal.

Aku bedrest sekitar lima hari, pada hari ke enam aku disarankan untuk pulang lebih awal. Akhirnya aku terbang sendiri ke jogja, di bandara my lovely mom,dad, and of course my sweety sudah menunggu. Mereka kaget, melihat aku tampak sehat, masih bisa ketawa-ketiwi hehehhe.
Setangguh apapun tubuh kita, sebaiknya malam hari kita gunakan untuk istirahat bukan bekerja apalagi sampai pagi tidak tidur. Meskipun kita tidur siang hari sebagai pengganti waktu istirahat yang semalam, tapi tetap tidak bisa nyenyak. Allah telah mensetting tubuh kita untuk beristirahat malam hari dan bekerja pada siang hari.

I love this job! Tapi apakah aku akan terus bekerja seperti ini, melompat dari satu daerah ke daerah lain. Jika terus melakukan pekerjaan ini aku akan kehilangan banyak waktu bersama anak istriku. Penghasilan pun juga tidak bisa tetap, apakah istri dan anakku akan menerima keadaan ini. Hmmmh I don`t think so, meski aku menyukai pekerjaan ini, aku tidak boleh egois. Mereka masa depanku juga!


Salam

Benny Pew
http://baliklayarindonesia.blogspot.com