Selasa, 10 November 2009

LOKAL MENUJU NASIONAL - Perjuangan Pelaksanaan Kata-kata!

Beberapa waktu yang lalu, saya pernah menuliskan artikel yang dimuat harian solo pos bertajuk "Saatnya Lokal, menuju Nasional". Ternyata perkara pembuktian ide tulisan yang menyoroti masalah konten-konten lokal yang diperjuangkan untuk bisa hadir di layar televisi nasional bukan persoalan yang mudah. Sebagai seorang kreator yang tinggal di Jogja, saya menemui banyak kendala untuk mengaplikasikan wacana tersebut. Hal pertama yang justru menjadi hambatan, justru berasal dari
lingkungan para seniman daerah atau pekerja kreatif daerah itu sendiri. Mind set, Cara berpikir mereka sudah terbentuk, bahwa untuk menembus layar televisi nasional di Jakarta, adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Banyak sekali seniman Daerah yang merasa kehilangan kesempatan masuk dalam arus besar pertunjukan (komersial) nasional, karena merasa lelah dengan jaringan Jakarta yang dianggap banyak menghalangi perjuangan mereka. Padahal, sebenarnya, wacana daerah kini menjadi daya tarik pembuatan konten pertelevisian secara nasional.

Ada beberapa cerita seniman-seniman daerah yang gagal mengadu nasib di Jakarta dan tidak pernah tampil di layar kaca nasional. Ada beberapa cerita sedih, nasib para kreator daerah yang tidak bisa menembus dinding entertainment Jakarta atau cerita perjuangan para pegiat seniman yang bertahun-tahun harus menunggu panggilan dalam antrian tanpa batas.

Di antara kisah-kisah sedih, ada pula cerita manis yang berhasil diukir oleh para kreator-kreator muda daerah. Cerita legendaris, pengalaman 5 anak muda yang menembus dunia rekaman jakarta pada akhir 90-an. Kita kenal dengan nama band Sheila on Seven, adalah salah satu kisah sukses perjuangan anak muda daerah yang kini menancapkan kukunya sebagai super band di Indonesia.

Namun, tidak semua kisah sukses dapat diduplikasi begitu saja, karena tantangan dan hambatan jalan menuju sukses di dunia entertainment nasional, saat ini cukup terjal dan mempunyai permasalahan yang luar biasa kompleks. Selain masalah teknis, ada juga masalah non teknis seperti cara pandang dan mental para kreator dan seniman yang kadang kala membuat mereka saling bersiteru atau saling menjatuhkan.

Desas-desus bahwa para kreator dan seniman daerah kerap saling 'jothakan' atau tidak rukun adalah cerita-cerita absurd, betapa mereka sebenarnya menghabiskan banyak energi untuk sesuatu yang tidak perlu. Namun secara personal, saya tidak mau ambil pusing hanya tenggelam mengurusi persoalan debat yang sebenarnya nggak ada faedahnyatersebut.

Yang ingin dan sedang saya lakukan adalah mencari rekan tandem dan talent berbakat dari daerah yang siap berjuang bersama untuk mengorbit ke tingkat nasional. Proses pencarian ini tidak mudah, untuk membuat sebuah tim yang solid dengan basis geografis jawa tengah dan Jogjakarta, memerlukan ketelatenan luar biasa untuk saling menautkan hati dan mental untuk berjuang.

Berkali-kali saya mencoba melakukan pendekatan dengan berbagai kalangan yang tertarik membesarkan wacana lokal menuju nasional. Berkali kali pula kegagalan itu datang, padahal, saya mencoba melakukan pendekatan dari orang-orang top di Jogjakarta, salah satunya dengan salah seorang owner tv lokal di sana. Mungkin memang belum jodoh, atau mereka berpikir bahwa apa yang saya impikan adalah sesuatu yang sangat berat dan menelan biaya bagi mereka. Saya cuma tersenyum, betapa pemikiran-pemikiran tradisional dari rekan-rekan di daerah, sangat menghambat mereka untuk bisa berkembang.



Oke lah, saya akhirnya tidak mendapatkan dukungan dari level pengambil keputusan dan para orang penting di Jogja dan Jawa tengah, lalu saya coba untuk berbuat dengan kekuatan sendiri, maka lahirlah sebuah gerakan yang menasional yang terkenal dengan sebutan "jangan Bugil di Depan Kamera! - JBDK!". Gerakan ini saya awali sendiri di Jogjakarta berbasiskan buku yang saya tulis berjudul "500+ Gelombang Video Porno Indonesia!". Sekedar info, betapa gerakan JBDK! itu dibuat melewati malam-malam sepi di angkringan, kesepian, deraan hujan dan berbagai keterbatasan dari sisi finance maupun fasilitas. Modal dengkul dan PENTIUM III jadul, menemani dalam malam-malam perjuangan, mengetik naskah buku JBDK! Namun JBDK! Menjadi sebuah fenomena gerakan yang CARE terhadap masalah penyimpangan pornografi di Indonesia hingga detik ini. Tidak kurang 5 tayangan televisi nasional mengupas dengan detail gerakan JBDK! O ya, dalam gerakan ini, saya bertemu dengan Benny PEW, anak muda lulusan UPN yang akhirnya menjadi teman seperjalanan dalam suka dan duka :).
Setelah JBDK, tantangan berikutnya adalah membuat karya baru yang harus memberikan kesadaran secara nasional. Untunglah saya bertemu dengan rekan-rekan penerbit Kanisius, akhirnya terbit buku "Teen Dating Violence!", buku pertama di Indonesia yang memotret masalah Dating Violence di kalangan remaja. Dari buku tersebut, muncullah gerakan kampanye "Stop Teen Dating Violence!" , berkeliling kota dan sekolah untuk membuat remaja sadar terhadap masalah kekerasan dalam dating. Hingga detik ini, kampanye Stop Teen Dating Violence!, telah mengunjungi 20 sekolah dan berbagai lembaga di pulau jawa. Ke depannya, gerakan ini mencoba untuk menjangkau kota-kota di berbagai pulau, seperti yang sudah dilakukan gerakan JBDK! sebelumnya. Oh ya, gerakan ini juga telah mewarnai wacana televisi nasional, dimulai dari TV ONE, lewat acara Apa Kabar Indonesia menyiarkan peluncuran buku "Teen Dating Violence" pada 14 Februari 2009.



Selain membuat gerakan-gerakan moral yang disebarkan ke masyarakat lewat media televisi, koran dan radio, saya mencoba untuk mengembangkan relasi dengan beberapa rekan baru yang mempunyai visi yang sama dalam hal media dan penyebaran wacana lokal yang mendidik. Saya bertemu dengan Kang Yuyun, MJ TV - Jogja Media Net, seorang pegiat dan pimpinan pada divisi produksi yang senang melakukan eksplorasi di bidang-bidang yang tidak umum. Lewat beliau, saya mendapatkan support dan fasilitas untuk mengembangkan wacana dan kreatifitas yang meledak-ledak dalam benak saya. Terus terang, saya sangat mencari orang-orang yang bisa dijadikan teman untuk berproses, bukan sekedar keinginan instan untuk menjadi tenar atau terkenal dalam tempo sesaat, tetapi orang-orang yang mau berpikir dan mempunyai kesabaran untuk menghargai proses kreatif dalam membentuk sebuah karya.

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat bertemu dengan beberapa orang yang semula saya anggap cukup kompeten untuk melakukan sebuah proses berkarya yang ingin diledakkan secara nasional. Namun dalam perjalanannya, orang-orang ini malah berbalik menjadi mahluk-mahluk yang terburu-buru dan tidak berpikir logis dalam bertindak. Parahnya, beberapa kasus absurd dan aneh terbongkar karena ketidakkonsistenan mereka dalam menjalankan rencana bersama. Saya mencoba untuk bersikap arif dan melihat persoalan ini dengan kepala dingin. Toh, menurut saya, mereka itu belum siap untuk masuk ke dalam proses kreatif berkarya yang menomorsatukan KEJUJURAN DALAM BERKARYA. Sehebat apapun kemampuan kita dalam berkarya, tidak ada artinya, bila kita malah MEMALSUKAN sebuah karya yang sebenarnya bukan milik kita sendiri. Saya ambil keputusan sederhana, saya mundur dan membuat sebuah proyek baru yang mungkin kelak menjadi ajang pembuktian sebuah proses berkarya berlandaskan niat baik dan kejujuran.

O'ya, dalam proses berjalan, saya bertemu dengan Mas Koko Srimulat, beliau pimpinan Srimulat yang mempunyai segudang pengalaman membesarkan manajemen grup komedian terbesar di Indonesia. Dari beliau, saya mendapatkan banyak pelajaran untuk bersabar dan berpikir bijak tentang sebuah manajemen grup. Saya sadar, saya tidak sendiri lagi kali ini. Saya mempunyai sebuah atau lebih, grup-grup kesenian dan kreatifitas yang harus dikembangkan. Saya berkeinginan membentuk manajemen artis yang di dalamnya mengurusi beberapa seniman atau tokoh terkenal. Salah satunya adalah MBAH DARMO, komedian dari Jogjakarta yang hidup dalam kesederhanaannya.

Sebenarnya, proses bertemu Mbah Darmo dan saya, melewati malam-malam yang menakjubkan. Kita disatukan dengan ketidaksengajaan dan berjalan bersama dalam kondisi yang saat itu sedang minus :). Cobaan datang silih berganti, Saya kehilangan beberapa job utama dalam dunia pertelevisian, begitu juga dengan Mbah Darmo yang mendadak kontraknya diputus oleh sebuah stasiun televisi nasional. Kami menjalani proses sebagai orang-orang yang tiba-tiba menggelandang di kota Jogja. Kami lewati malam-malam yang dingin dengan obrolan-obrolan untuk mengembangkan kreatifitas, tentu saja kami nggak berharap banyak, karena berbulan-bulan terlewati tanpa ada pekerjaan yang jelas.

Sebagai seorang kreator, saya memandang Mbah Darmo mempunyai potensi luar biasa untuk dikembangkan di jagad pertelevisian nasional. Beliau memang sudah terkenal di dunia hiburan, tetapi impian saya, ingin menjadikan icon MBAH DARMO berdiri sendiri tanpa bayang-bayang atau berada di dalam grup apapun. Alasannya sederhana, untuk sebuah karakter yang luar biasa kuat seperti dia, adalah sebuah tantangan utama menjadikannya SENIMAN Tunggal yang melejit di ranah pertelevisian. Namun, perjuangan ini tidaklah mudah. Dalam proses yang memakan waktu hampir satu tahun, saya mencoba membuatkan berbagai macam konsep tontonan ke berbagai stasiun televisi. Selama hampir satu tahun, konsep itu berkali-kali gagal dilaksanakan atau ditolak oleh pihak televisi, hanya karena mereka lebih memilih menampilkan komedian muda yang dianggap lebih kinclong dan enak dijual.

Sebenarnya, saya hampir putus asa untuk memperjuangkan konsep ini, tetapi tiba-tiba, muncul fenomena Mbah Surip yang benar-benar memberikan wacana ANTI MAKE UP! ANTI LIPSTICK! ANTI GOOD LOOKING! tetapi bisa menjadi sebuah simbol wacana baru yang diserap oleh berbagai macam stasiun televisi. MBAH SURIP telah membuktikan, bahwa cara pandang masyarakat terhadap
bintang televisi yang harus serba GANTENG dan SEXY, tidak melulu menjadi ramuan sukses pencapai rating tinggi. Sayangnya, kepopuleran Mbah Surip hanya berumur singkat, beliau telanjur dipanggil Sang Maha Kuasa.

Lalu, kesadaran itu tumbuh kembali, saya lalu membuka beragam konsep lama untuk menampilkan sosok karakter berusia lanjut dengan wacana budaya ala Jogja-Jawa. Entah mungkin sudah nasib atau memang timing yang tepat, tiba-tiba presentasi saya terhadap naskah skenario yang saya ajukan ke sebuah Departemen pemerintah, diterima. Dan yang lebih mengejutkan, tokoh karakter MBAH DARMO yang saya jadikan tokoh dalam Sebuah rancangan SITKOM, diterima dan segera dilakukan proses produksinya.

TEPAT pada tanggal 5 Nopember 2009, segala impian untuk melakukan produksi SITKOM dengan tokoh utama MBAH DARMO dilaksanakan, dalam sebuah proses syuting yang dimulai di Jakarta. Rencananya bakal dibuat dalam 10 episode dan akan ditayangkan mulai 15 Nopember 2009 di TV ONE.

Gusti Allah Maha Pemberi Rezeki....

Hanya keajaiban dan izin dari Nya, menjadi penyemangat dari proses kreatif ini. Betapa impian saya untuk membuat tayangan nasional dengan konten lokal terjadi begitu saja tanpa halangan yang berarti. Betapa banyak keringat yang terbuang selama ini, seolah-olah hilang begitu saja ketika semua pintu itu terbuka. Aku percaya ya Allah, betapa Engkau memudahkan semua urusan yang Engkau ridhoi. Betapa semua ini adalah berkah dan jalan yang Engkau tunjukkan.

Terima kasih ya Allah, langkah pertama telah dijejakkan, perjuangan baru saja dimulai.

Semoga Wacanan Jogja dan budayanya, hadir kembali lewat berbagai tayangan televisi di negeri ini.

Salam,

Sony Set.
saat ini sedang melakukan pekerjaan sebagai Scriptwriter serial "KAMPUNG SEHAT", TV ONE.
Tayang Perdana 15 Nopember 2009

Untuk Mbah Darmo : Selamat berjuang, saatnya kata-kata itu harus dibuktikan. Tetap Semangat!
Teman-teman Seperjuangan : MR President Band & Management : Deden, Eka, Singgih, Helmy, Ge, Pak Heri, Pak Joko & Catur.
Teman-teman Kreatif Seperjuangan : Mas Koko Srimulat, Benny Pew, Gun 7, Pak Windu Kanisius, Kang Yuyun O3-MJ TV.

(Tulisan ini dipersembahkan untuk segenap Mahasiswa Fikom UMY dan Rekan-rekan Kreatif dan Seniman Yogyakarta. Mari kita warnai dunia pertelevisian nasional dengan semangat menyebarkan kearifan budaya lokal yang mendunia! Mari kita bangun Jogja lewat wacana kreatif pertelevisian dan multimedia)


*tulisan diambil dari note Mas Sony Set*


makasi ya Mas...................